Kita sering berbicara tentang kolaborasi, tetapi yang hadir justru kepura-puraan. Banyak pihak masih lebih mengedepankan ego pribadi maupun sektoral daripada kepentingan bersama. Kolaborasi yang seharusnya menjadi energi positif, kini justru sarat dengan kepentingan, pencitraan, dan dahaga akan pengakuan.
Pertanyaan besar pun muncul: Banjarnegara sebenarnya ingin menjadi daerah seperti apa? Setelah lebih dari empat abad berdiri, arah pembangunan Banjarnegara belum menemukan bentuk yang pasti, apakah akan tumbuh sebagai kota industri, destinasi wisata, lumbung pertanian, atau pusat kebudayaan? Ketidakjelasan arah ini membuat banyak potensi lokal berjalan tanpa pijakan strategi yang kokoh.
Sejak lebih dari dua dekade lalu, Banjarnegara juga kehilangan jati diri budayanya. Tradisi dan nilai-nilai luhur yang dulu menjadi akar kehidupan masyarakat mulai terkikis. Generasi muda Banjarnegara kini hidup dalam arus global tanpa banyak mengenal akar sejarah dan kebudayaan leluhur mereka sendiri.
Di tengah situasi ini, pemerintah daerah di bawah kepemimpinan Bupati ke-30 memiliki tantangan besar. Kemiskinan dan pengangguran terbuka terus menganga, sementara ekonomi rakyat tidak berada dalam kondisi baik-baik saja. Dibutuhkan masukan yang konkret dan langkah-langkah solutif agar Banjarnegara mampu keluar dari stagnasi.